Langsung ke konten utama

Magang atau Kuliah Dulu? Ini Panduan Biar Kamu Tetap On Track di Dunia Kampus & Karier

Image by: hotcourses.co.id Puan, pernah nggak sih, ngerasa kayak lagi di persimpangan hidup? Di satu sisi, Puan ingin fokus kuliah, ngerjain tugas, dan jaga IP biar tetap aman, tapi di sisi lain, teman-teman Puan udah banyak yang sibuk update LinkedIn atau magang di perusahaan keren? Sementara kita baru ngerjain makalah tiga bab aja udah ngos-ngosan. Lalu muncul pertanyaan “Aku harus fokus kuliah dulu, atau mulai magang biar nggak ketinggalan ya?” Tenang, Puanners. Kalau kamu lagi ada di fase itu, kamu nggak sendirian, dan jawabannya adalah nggak harus pilih salah satu. Kuncinya bukan di urutannya, melainkan di bagaimana Puan menemukan keseimbangan dan arah dari keduanya. Kuliah Adalah Fondasi, Magang Adalah Jembatannya Kuliah itu bukan cuma tentang IP dan SKS, melainkan juga waktu untuk membentuk cara berpikir dan mengenali diri. Sementara magang jadi tempat untuk menerapkan semua teori yang udah Puan pelajari di kelas. Keduanya penting, tapi porsinya bisa beda-beda tergantung Puan la...

Mengenal Coping Mechanisms, Strategi Mengatasi Stres yang Umum ala Gen Z!

 

Image by Baylor Lariat

Di tengah era digital yang berkembang pesat dengan mobilitas serba cepat, generasi kita dihadapkan pada tantangan baru dalam mengelola stres yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari tuntutan akademik, tekanan media sosial, urusan pekerjaan hingga overthinking soal masa depan, semua bisa membuat pikiran terasa penuh dan melelahkan. Nah, disinilah peran coping mechanisms menjadi sangat penting. Namun, Puan tahu nggak sih, coping mechanisms itu apa?

Secara sederhana, coping mechanisms adalah cara atau strategi yang dilakukan seseorang untuk menghadapi dan mengelola stres atau tekanan emosional dalam hidupnya. Umumnya, strategi ini terbagi menjadi dua jenis utama:

  • Adaptive Coping
    Strategi ini merupakan cara yang sehat dan positif dalam menghadapi stres seperti olahraga ringan, journaling, atau praktik mindfulness. Tujuannya bukan hanya untuk meredakan stres sesaat tidak juga membantu kita tumbuh dan berkembang secara emosional.

  • Maladaptive Coping
    Meski terasa melegakan sesaat, strategi ini justru bisa berdampak negatif dalam jangka panjang. Contohnya seperti emotional eating, menghindari masalah, atau menarik diri dari lingkungan sosial.

Jadi, meskipun coping mechanisms bisa menjadi cara yang efektif untuk  mengatasi stres, nggak semua strategi cocok dan sehat untuk dijalani. Kalau dilakukan hanya untuk "lari sejenak", tanpa menyentuh akar masalah, justru bisa memperburuk kondisi mental kita, lho!

Puan bisa tenang, Priska punya beberapa rekomendasi coping mechanisms sehat yang bisa Puan coba untuk mulai mengenal dan mengelola stres dengan lebih bijak. Siap, ya?

1. Journaling
Menulis isi hati atau kegelisahan Puan di buku catatan bisa sangat melegakan. Selain itu, journaling juga membantu Puan lebih mengenal diri sendiri dan melacak pola emosional yang muncul.

2. Olahraga Ringan
Jalan santai saat weekend atau stretching di  pagi hari sambil dengar lagu favorit bisa bantu tubuh terasa segar dan pikiran lebih rileks. Bonusnya: lebih dekat ke gaya hidup sehat!

3. Self-Care Routine
Maskeran, skincare-an atau rebahan sambil baca buku semua itu melainkan  sekadar kemewahan melainkan bentuk self-love yang bisa Puan berikan untuk diri sendiri. Merawat diri secara fisik bisa berdampak positif ke emosional juga.

4. Cari Support System yang Positif
Kadang, kita hanya butuh didengar. Puan bisa ngobrol dengan sahabat, keluarga, atau bergabung di komunitas online yang mendukung hobi dan value Puan.

5. Konsumsi Konten Positif
Apa yang kita konsumsi dari media juga berpengaruh ke suasana hati. Pilihlah konten yang uplifting seperti podcast inspiratif, video edukatif, atau akun media sosial yang menyebarkan semangat positif.

Meski niatnya ingin mengurangi stres, ada beberapa coping yang justru bisa berdampak buruk jika tidak dikendalikan, seperti:

  • Oversharing di Media Sosial
    Mungkin terasa melegakan, tapi bisa memicu penyesalan atau komentar negatif dari orang lain.

  • Emotional Eating atau Binge-Watching
    Kadang kita “mengisi” kekosongan emosi dengan makanan atau tayangan hiburan, tapi jika berlebihan bisa menimbulkan rasa bersalah atau kehilangan waktu produktif.

  • Prokrastinasi atau Menghindari Masalah
    Bukannya menyelesaikan, malah membuat beban menumpuk dan pikiran makin penuh.

Terus, ada ngga sih cara yang bisa kita ambil untuk menemukan coping yang cocok dengan pribadi kita? Ada dong! Puan bisa melakukan tips ini untuk menemukan coping yang cocok buat Puan : 

  • Tanyakan ke diri sendiri:
    “Apa sih yang bikin aku stres akhir-akhir ini?”
    Pertanyaan ini bisa bantu Puan lebih sadar terhadap sumber stres dan cara terbaik menghadapinya.

  • Coba beberapa coping yang berbeda
    Mulai dari journaling, olahraga, hingga self-care. Sesuaikan dengan kepribadian dan hobi Puan!

  • Lakukan secara konsisten
    Coping yang sehat bukan solusi instan, tetapi  proses yang bertahap. Kuncinya: kesabaran dan konsistensi.

Stres itu reaksi yang manusiawi. Namun kabar baiknya, Puan nggak pernah sendirian, di sekeliling Puan ada orang terdekat yang mendukung dan Puan pasti bisa menghadapinya. Yuk, mulai kenali dan terapkan coping mechanism yang cocok untuk Puan. Karena Puan layak hidup dengan lebih damai, bahagia dan utuh luar maupun dalam. 



Referensi :

National Libarary of Medicine

https://positivepsychology.com/coping/

https://health.clevelandclinic.org/coping-mechanism

Author & Editor : Keisha Najwa Dwi Anggraeni 

Komentar

Rubik Puan Popular

Kenyataan Work-Life Balance yang Sering Disalahpahami

Puan nggak sih Puan ngerasa kayak semua hal minta waktu di saat yang sama kuliah, kerja, organisasi, bahkan diri Puan sendiri? Semua bilang “harus seimbang,” tapi nggak ada yang ngajarin gimana caranya. Akhirnya, kita terus coba jadi semuanya: anak yang berbakti, teman yang ada, mahasiswa yang aktif, pekerja yang nggak pernah telat, padahal diam-diam… kita cuma pengen napas sebentar. Mitos 50:50 dan kenapa ia berbahaya Work-life balance sering disalahpahami kayak rumus matematika 50% kerja, 50% istirahat. Padahal hidup nggak sesederhana itu. Keseimbangan bukan angka tetap, tapi kemampuan untuk menyesuaikan fokus sesuai fase hidup. Ada masa di mana Puan lagi all-out di karier atau kampus, dan itu nggak salah. Ada masa juga di mana Puan lagi perlu berhenti, pulih, dan mengembalikan energi dan itu juga bagian dari seimbang. American Psychological Association (2021), mencatat bahwa ketika keseimbangan kerja dan hidup terganggu, stres kronis dan burnout mudah muncul. Jadi, “seimbang” buk...

Magang atau Kuliah Dulu? Ini Panduan Biar Kamu Tetap On Track di Dunia Kampus & Karier

Image by: hotcourses.co.id Puan, pernah nggak sih, ngerasa kayak lagi di persimpangan hidup? Di satu sisi, Puan ingin fokus kuliah, ngerjain tugas, dan jaga IP biar tetap aman, tapi di sisi lain, teman-teman Puan udah banyak yang sibuk update LinkedIn atau magang di perusahaan keren? Sementara kita baru ngerjain makalah tiga bab aja udah ngos-ngosan. Lalu muncul pertanyaan “Aku harus fokus kuliah dulu, atau mulai magang biar nggak ketinggalan ya?” Tenang, Puanners. Kalau kamu lagi ada di fase itu, kamu nggak sendirian, dan jawabannya adalah nggak harus pilih salah satu. Kuncinya bukan di urutannya, melainkan di bagaimana Puan menemukan keseimbangan dan arah dari keduanya. Kuliah Adalah Fondasi, Magang Adalah Jembatannya Kuliah itu bukan cuma tentang IP dan SKS, melainkan juga waktu untuk membentuk cara berpikir dan mengenali diri. Sementara magang jadi tempat untuk menerapkan semua teori yang udah Puan pelajari di kelas. Keduanya penting, tapi porsinya bisa beda-beda tergantung Puan la...

Growth Mindset vs Fixed Mindset: Pilihan Pola Pikir yang Menentukan Masa Depan

Image by  Source of Insight Manusia pada dasarnya diciptakan berbeda beda ya, Puan, begitu juga dengan mindset yang dibangun oleh diri kita sendiri. Menurut Carol Dweck psikologi dari Stanford University mindset terbagi menjadi dua yaitu fixed mindset dan growth mindset . Apa itu fixed mindset ? Fixed mindset merupakan pola pikir yang percaya bahwa suatu kecerdasan ataupun bakat dalam individu yang sifatnya tidak akan pernah berubah. Orang yang mempunyai fixed mindset cenderung mudah menyerah, tidak mau ambil resiko atas tantangan dalam hidup serta mudah merasa terancam atas keberhasilan orang lain. Lalu, apa itu growth mindset ? Growth mindset merupakan pola pikir yang ingin selalu berkembang dan percaya bahwa sebuah kesuksesan bisa didapatkan dengan kerja keras. Dengan kata lain seorang yang mempunyai growth mindset akan selalu tampil berani serta mencoba hal-hal baru. Perbedaan kedua mindset ini apasih? Fixed mindset Menghindari tantangan karena takut dengan kegagalan te...

Fear of Being Perceived: Alasan Kamu Takut Kena Judge

             Puan, dalam ruang sosial pernah nggak sih merasa bahwa ada banyak pasang mata yang seakan mengikuti setiap gerak-gerik? Seakan tatapan orang lain yang bahkan belum tentu kita kenal aja secara nggak langsung memvalidasikan sesuatu yang kita lakukan. Contohnya saat Puan keluar rumah ada kecenderungan untuk tampil secara baik.  Dalam hal ini, semua yang Puan pakai harus menyesuaikan ekspektasi banyak orang di zaman ini. Apa yang kita unggah ke media sosial adalah sisi yang paling baik, tapi belum tentu sisi yang benar-benar mencerminkan diri sendiri. Apa Itu Fear of Being Perceived? Menurut sumber web Psychology Today, pada dasarnya setiap individu memiliki keinginan untuk divalidasi, dilihat, dan dianggap oleh orang lain sebagaimana versi diri kita yang sebenar-benarnya. Namun, dalam perjalanannya mungkin kita pernah mengalami kritik berlebih atau dianggap aneh ketika mencoba menjadi diri sendiri. Sehingga ketika kita mencoba menja...

Spiral of Silence Theory: Jadi Minoritas Jarang Didengar

source: Kompasiana.com Spiral of Silence Theory   atau yang disebut dengan teori spiral keheningan, mungkin terdengar asing ya, Puan? Tapi apakah kamu pernah merasa ketika ingin menyampaikan pendapat dalam suatu isu, namun ada keraguan dan ketakutan karena nanti menjadi terisolasi sendiri, sehingga pendapat tersebut tak jadi kamu disampaikan? Teori spiral keheningan atau  spiral of silence theory  ini pertama kali dicetuskan oleh  Elisabeth Noelle Neumann  (1973) mengenai kelompok minoritas yang cenderung akan menjadi diam atau tidak berani menyampaikan pendapatnya karena takut akan terisolasi dari lingkungan disekitarnya. Maka sering kali, minoritas mengikuti pendapat kelompok mayoritas. source: kumparan.com Dalam lingkup sosial hal ini sering terjadi, bahkan orang cenderung menghindarinya dan lebih memilih mengikuti pendapat mayoritas dengan anggapan bahwa tidak akan merasa sendiri atau terisolasi di tengah masyarakat. Melihat perilaku masyarakat Indonesia ya...