Image by : VML
Hyper Femininity
adalah ekspresi feminitas ekstrem untuk perempuan yang seringkali di eksperikan dengan rona pink, rambut glossy, blush on tebal, dan estetika ‘girly pop’ yang dramatis. Tapi hyper femininity bukan cuma soal penampilan Puan, tren ini juga jadi alat untuk menantang stereotip gender, mengambil ruang, dan memaknai feminin sebagai bentuk kekuatan.
Kenapa tren ini muncul?
- Sebagai bentuk pemberontakan: Dalam periode lockdown atau ketegangan sosial, tampil sangat feminim bisa jadi cara menyatakan kebebasan emosional Puan! seperti ekspresi dari “aku boleh lembut, boleh ‘girly’”
- Kembali ke akar budaya ‘girly pop’: Tren seperti Juicy Couture, bows, Hello Kitty dulu sempat dianggap ketinggalan zaman, tapi kini dibangkitkan lagi untuk merayakan sisi keibuan dan nostalgia
- Liberasi dari maskulinitas yang toxic: Setelah sekian lama ‘power dressing’ dianggap cara utama perempuan diakui, hyper femininity menawarkan alternatif yang lembut namun tegas
Sisi positif:
- Merebut kembali simbol feminim ala Barbie, coquette, dan banyak lainnya yang menjadi sosok simbol perempuan yang ekspresif
- Memberi ruang bagi perempuan untuk jadi “juice couture version” diri sendiri, bukan harus tomboy
- Mendorong reclaim passion dan self-expression lewat estetika yang feminim
- Bisa disalah artikan sebagai pasif, inferior, atau airhead jika belum dibarengi narasi empowerment
- Resiko objektifitas dan tekanan untuk tampil sempurna terus-menerus
- Bisa memicu respon back-to-back, seperti dikritik karena terlalu girly atau gimmick
- Pahami sebagai ekspresi diri
- Bangun narasi yang inklusif
- Gabungkan dengan isu lebih luas
- Berikan safe space
Puan, Hyper femininity bukan sekadar soal tampil glamor, tapi dia bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap stereotip patriarki tentang “feminin = lemah”. Dengan ide estetika yang tegas dan penuh warna, tren ini mengundang perempuan untuk merayakan sisi lembut sekaligus kuat dalam diri mereka.
Referensi :
Author & Editor : Nazwal Bilbina Budiman

Komentar
Posting Komentar