Langsung ke konten utama

Magang atau Kuliah Dulu? Ini Panduan Biar Kamu Tetap On Track di Dunia Kampus & Karier

Image by: hotcourses.co.id Puan, pernah nggak sih, ngerasa kayak lagi di persimpangan hidup? Di satu sisi, Puan ingin fokus kuliah, ngerjain tugas, dan jaga IP biar tetap aman, tapi di sisi lain, teman-teman Puan udah banyak yang sibuk update LinkedIn atau magang di perusahaan keren? Sementara kita baru ngerjain makalah tiga bab aja udah ngos-ngosan. Lalu muncul pertanyaan “Aku harus fokus kuliah dulu, atau mulai magang biar nggak ketinggalan ya?” Tenang, Puanners. Kalau kamu lagi ada di fase itu, kamu nggak sendirian, dan jawabannya adalah nggak harus pilih salah satu. Kuncinya bukan di urutannya, melainkan di bagaimana Puan menemukan keseimbangan dan arah dari keduanya. Kuliah Adalah Fondasi, Magang Adalah Jembatannya Kuliah itu bukan cuma tentang IP dan SKS, melainkan juga waktu untuk membentuk cara berpikir dan mengenali diri. Sementara magang jadi tempat untuk menerapkan semua teori yang udah Puan pelajari di kelas. Keduanya penting, tapi porsinya bisa beda-beda tergantung Puan la...

Bukan Tentang SEMPURNA Melainkan Tentang Percaya: Merawat SELF EFFICACY di Tengah Life Standard TikTok.


Image by: emy-l

Don’t compare yourself with anyone else in the world. If you do so you are insulting yourself.” - Bill Gates

Puan, pernah nggak si merasa cemas dan insecure ketika scrolling TikTok?...

Tanpa sadar di saat kita scrolling, sering muncul konten “life standard” di FYP kita yang mengatakan jika di usia segini harus punya karier begini, pasangan begitu, dan pencapaian setinggi itu sehingga berujung membuat suasana yang nggak nyaman. Dalam hitungan detik, tanpa sadar kita membandingkan diri. Lalu muncul suara kecil di kepala, “Kok aku belum kayak mereka ya?” Pelan-pelan, rasa percaya diri terkikis, dan kita mulai ragu pada kemampuan diri sendiri.

TikTok mungkin memiliki standard tersendiri, tetapi apakah kita perlu mengikuti standard tersebut? Kita berhak menentukan hidup kita sendiri, kita bertanggung jawab atas apa yang kita pilih, dan kita berhak menentukan arah dan tujuan hidup kita. 

...Karena hidup bukan tentang siapa yang lebih cepat mencapai sesuatu, melainkan siapa yang mampu bertahan dan tumbuh dalam setiap prosesnya. Proses juga bukan tentang hasil, melainkan tentang langkah yang kita tentukan dan ambil dengan bijak. 

Fenomena perbandingan di TikTok ini berkaitan erat dengan konsep self-efficacy, yang mana keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu. Ketika kita yakin bahwa kita mampu, kita cenderung lebih berani mencoba hal baru, tidak mudah menyerah saat gagal, dan lebih percaya pada proses. Namun sebaliknya, ketika keyakinan itu goyah karena terlalu sering melihat “kehidupan sempurna” orang lain di media sosial, kita mulai kehilangan arah dan motivasi. Di sinilah pentingnya merawat self-efficacy di tengah gempuran “life standard TikTok”.

Apa Itu Self Efficacy?

Self-efficacy adalah keyakinan dalam diri bahwa “aku bisa”. Bukan karena orang lain yang mengatakan ataupun standar kehidupan yang ada, melainkan karena kita percaya bahwa kita mampu berusaha, belajar, dan berkembang dari setiap proses yang kita jalani.

Seperti dijelaskan oleh Albert Bandura (1997), self-efficacy adalah kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya untuk mengorganisasi dan mengeksekusi tindakan yang diperlukan guna mencapai tujuan tertentu. Keyakinan ini memengaruhi bagaimana kita berpikir, merasa, dan berperilaku ketika menghadapi tantangan.

Kenapa Self Efficacy Penting?

Menurut Bandura, self-efficacy berperan besar dalam bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri dan dunianya. Ini bukan sekadar rasa percaya diri, melainkan fondasi dalam menghadapi tekanan hidup.

Nah, berikut alasan kenapa self-efficacy penting banget untuk dijaga, terutama di tengah tekanan “life standard” yang sering muncul di TikTok:

  1. Membentuk Keberanian untuk Melangkah.
    Ketika kita yakin pada diri sendiri, kita lebih berani mencoba tanpa takut gagal.

  2. Meningkatkan Ketahanan Mental.
    Self-efficacy membuat kita tangguh dan tidak mudah menyerah meski hidup tidak selalu sesuai harapan.

  3. Membantu Lepas dari Perbandingan Sosial.
    Keyakinan diri yang kuat membantu kita fokus pada perjalanan sendiri, bukan pencapaian orang lain.

  4. Menjaga Keseimbangan Emotional Intelligence.
    Dengan self-efficacy, kita bisa menerima bahwa setiap orang punya waktunya masing-masing. Tidak perlu terburu-buru, yang penting terus tumbuh.

Jadi, self-efficacy bukan tentang siapa yang paling cepat mencapai titik puncaknya, melainkan tentang siapa yang tetap percaya pada proses diri sendiri, bahkan ketika dunia seolah meminta kita menjadi seperti orang lain.

Cara Merawat Self Efficacy di Tengah “Life Standard” TikTok

Menjaga self-efficacy di era digital bukan hal mudah, apalagi ketika standar hidup orang lain terus muncul di layar kita. Tapi, bukan berarti tidak mungkin.

Batasi Perbandingan, Fokus pada Proses.
Setiap orang punya waktunya sendiri. Fokuslah pada langkah kecil yang bisa kamu syukuri hari ini.

  1. Rayakan Setiap Progres.
    Banggalah pada setiap usaha yang kamu lakukan, sekecil apa pun.

  2. Bangun Lingkungan yang Positif.
    Ikuti orang-orang yang memberi semangat, bukan tekanan.

  3. Berbicara Baik dengan Diri Sendiri.
    Saat pikiran negatif datang, ubah kalimatnya menjadi lebih lembut. Dari “aku nggak bisa” menjadi “aku sedang belajar.”

Puan, dunia mungkin akan terus memberi standar kehidupan, namun hanya kita yang bisa menentukan makna dari perjalanan hidup kita sendiri. Tidak ada waktu yang salah, tidak ada langkah yang terlalu kecil. Selama kita terus percaya pada kemampuan diri, kita sedang berjalan di arah yang benar. Karena hidup bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang percaya, percaya bahwa kita mampu, kita cukup, dan kita pantas tumbuh dengan cara kita sendiri. 


Referensi:

Jia, W., Zhang, X., & Huang, L. (2024). The Impact of Social Media on Users' Self-Efficacy and Loneliness: The Mediating Role of Social Support. Journal of Behavioral and Cognitive Therapy.


Yunani, M. (2025). The Influence of TikTok Media Exposure on Body Image and Self-Esteem among Adolescents.


Bonfanti, R.C. et al. (2025). A systematic review and meta-analysis on social media use and social comparison related to body image and mental health.

Fitri, L. (2024). The Relationship between Social Comparison and Self Esteem in TikTok Users.

Amelia, I. (2025). The Intensity of TikTok Use and Social Comparison on Teenagers' Self-Esteem.


Komentar

Rubik Puan Popular

Kenyataan Work-Life Balance yang Sering Disalahpahami

Puan nggak sih Puan ngerasa kayak semua hal minta waktu di saat yang sama kuliah, kerja, organisasi, bahkan diri Puan sendiri? Semua bilang “harus seimbang,” tapi nggak ada yang ngajarin gimana caranya. Akhirnya, kita terus coba jadi semuanya: anak yang berbakti, teman yang ada, mahasiswa yang aktif, pekerja yang nggak pernah telat, padahal diam-diam… kita cuma pengen napas sebentar. Mitos 50:50 dan kenapa ia berbahaya Work-life balance sering disalahpahami kayak rumus matematika 50% kerja, 50% istirahat. Padahal hidup nggak sesederhana itu. Keseimbangan bukan angka tetap, tapi kemampuan untuk menyesuaikan fokus sesuai fase hidup. Ada masa di mana Puan lagi all-out di karier atau kampus, dan itu nggak salah. Ada masa juga di mana Puan lagi perlu berhenti, pulih, dan mengembalikan energi dan itu juga bagian dari seimbang. American Psychological Association (2021), mencatat bahwa ketika keseimbangan kerja dan hidup terganggu, stres kronis dan burnout mudah muncul. Jadi, “seimbang” buk...

Magang atau Kuliah Dulu? Ini Panduan Biar Kamu Tetap On Track di Dunia Kampus & Karier

Image by: hotcourses.co.id Puan, pernah nggak sih, ngerasa kayak lagi di persimpangan hidup? Di satu sisi, Puan ingin fokus kuliah, ngerjain tugas, dan jaga IP biar tetap aman, tapi di sisi lain, teman-teman Puan udah banyak yang sibuk update LinkedIn atau magang di perusahaan keren? Sementara kita baru ngerjain makalah tiga bab aja udah ngos-ngosan. Lalu muncul pertanyaan “Aku harus fokus kuliah dulu, atau mulai magang biar nggak ketinggalan ya?” Tenang, Puanners. Kalau kamu lagi ada di fase itu, kamu nggak sendirian, dan jawabannya adalah nggak harus pilih salah satu. Kuncinya bukan di urutannya, melainkan di bagaimana Puan menemukan keseimbangan dan arah dari keduanya. Kuliah Adalah Fondasi, Magang Adalah Jembatannya Kuliah itu bukan cuma tentang IP dan SKS, melainkan juga waktu untuk membentuk cara berpikir dan mengenali diri. Sementara magang jadi tempat untuk menerapkan semua teori yang udah Puan pelajari di kelas. Keduanya penting, tapi porsinya bisa beda-beda tergantung Puan la...

Growth Mindset vs Fixed Mindset: Pilihan Pola Pikir yang Menentukan Masa Depan

Image by  Source of Insight Manusia pada dasarnya diciptakan berbeda beda ya, Puan, begitu juga dengan mindset yang dibangun oleh diri kita sendiri. Menurut Carol Dweck psikologi dari Stanford University mindset terbagi menjadi dua yaitu fixed mindset dan growth mindset . Apa itu fixed mindset ? Fixed mindset merupakan pola pikir yang percaya bahwa suatu kecerdasan ataupun bakat dalam individu yang sifatnya tidak akan pernah berubah. Orang yang mempunyai fixed mindset cenderung mudah menyerah, tidak mau ambil resiko atas tantangan dalam hidup serta mudah merasa terancam atas keberhasilan orang lain. Lalu, apa itu growth mindset ? Growth mindset merupakan pola pikir yang ingin selalu berkembang dan percaya bahwa sebuah kesuksesan bisa didapatkan dengan kerja keras. Dengan kata lain seorang yang mempunyai growth mindset akan selalu tampil berani serta mencoba hal-hal baru. Perbedaan kedua mindset ini apasih? Fixed mindset Menghindari tantangan karena takut dengan kegagalan te...

Fear of Being Perceived: Alasan Kamu Takut Kena Judge

             Puan, dalam ruang sosial pernah nggak sih merasa bahwa ada banyak pasang mata yang seakan mengikuti setiap gerak-gerik? Seakan tatapan orang lain yang bahkan belum tentu kita kenal aja secara nggak langsung memvalidasikan sesuatu yang kita lakukan. Contohnya saat Puan keluar rumah ada kecenderungan untuk tampil secara baik.  Dalam hal ini, semua yang Puan pakai harus menyesuaikan ekspektasi banyak orang di zaman ini. Apa yang kita unggah ke media sosial adalah sisi yang paling baik, tapi belum tentu sisi yang benar-benar mencerminkan diri sendiri. Apa Itu Fear of Being Perceived? Menurut sumber web Psychology Today, pada dasarnya setiap individu memiliki keinginan untuk divalidasi, dilihat, dan dianggap oleh orang lain sebagaimana versi diri kita yang sebenar-benarnya. Namun, dalam perjalanannya mungkin kita pernah mengalami kritik berlebih atau dianggap aneh ketika mencoba menjadi diri sendiri. Sehingga ketika kita mencoba menja...

Spiral of Silence Theory: Jadi Minoritas Jarang Didengar

source: Kompasiana.com Spiral of Silence Theory   atau yang disebut dengan teori spiral keheningan, mungkin terdengar asing ya, Puan? Tapi apakah kamu pernah merasa ketika ingin menyampaikan pendapat dalam suatu isu, namun ada keraguan dan ketakutan karena nanti menjadi terisolasi sendiri, sehingga pendapat tersebut tak jadi kamu disampaikan? Teori spiral keheningan atau  spiral of silence theory  ini pertama kali dicetuskan oleh  Elisabeth Noelle Neumann  (1973) mengenai kelompok minoritas yang cenderung akan menjadi diam atau tidak berani menyampaikan pendapatnya karena takut akan terisolasi dari lingkungan disekitarnya. Maka sering kali, minoritas mengikuti pendapat kelompok mayoritas. source: kumparan.com Dalam lingkup sosial hal ini sering terjadi, bahkan orang cenderung menghindarinya dan lebih memilih mengikuti pendapat mayoritas dengan anggapan bahwa tidak akan merasa sendiri atau terisolasi di tengah masyarakat. Melihat perilaku masyarakat Indonesia ya...