Langsung ke konten utama

Magang atau Kuliah Dulu? Ini Panduan Biar Kamu Tetap On Track di Dunia Kampus & Karier

Image by: hotcourses.co.id Puan, pernah nggak sih, ngerasa kayak lagi di persimpangan hidup? Di satu sisi, Puan ingin fokus kuliah, ngerjain tugas, dan jaga IP biar tetap aman, tapi di sisi lain, teman-teman Puan udah banyak yang sibuk update LinkedIn atau magang di perusahaan keren? Sementara kita baru ngerjain makalah tiga bab aja udah ngos-ngosan. Lalu muncul pertanyaan “Aku harus fokus kuliah dulu, atau mulai magang biar nggak ketinggalan ya?” Tenang, Puanners. Kalau kamu lagi ada di fase itu, kamu nggak sendirian, dan jawabannya adalah nggak harus pilih salah satu. Kuncinya bukan di urutannya, melainkan di bagaimana Puan menemukan keseimbangan dan arah dari keduanya. Kuliah Adalah Fondasi, Magang Adalah Jembatannya Kuliah itu bukan cuma tentang IP dan SKS, melainkan juga waktu untuk membentuk cara berpikir dan mengenali diri. Sementara magang jadi tempat untuk menerapkan semua teori yang udah Puan pelajari di kelas. Keduanya penting, tapi porsinya bisa beda-beda tergantung Puan la...

Toxic productivity? Let's shed it!


Pernahkah Puan merasa seperti roda berputar yang tak pernah berhenti? Setiap hari terasa seperti lomba marathon tanpa garis finish. Padahal, Puan sudah menyelesaikan segudang tugas, namun rasa puas tak kunjung datang. Justru, muncul perasaan gelisah dan takut jika tidak terus-menerus produktif. Jika mengalami hal ini, mungkin Puan sedang terjebak dalam lingkaran setan yang disebut toxic productivity.

Toxic productivity adalah kondisi di mana seseorang merasa tertekan untuk terus-menerus produktif tanpa mempertimbangkan kesehatan mental dan fisik. Ini adalah obsesi yang tidak sehat untuk selalu melakukan sesuatu, bahkan ketika tubuh dan pikiran sudah lelah. Orang yang terjebak dalam toxic productivity seringkali mengukur keberhasilan mereka berdasarkan seberapa banyak hal yang mereka capai, bukan kualitas hidup mereka.

Kenapa Toxic Productivity Berbahaya?

  • Terus-menerus memaksa diri untuk bekerja keras akan membuat tubuh dan pikiran kelelahan.

  • Tekanan untuk selalu produktif dapat memicu masalah kesehatan mental yang serius.

  • Kurangnya waktu untuk bersosialisasi dengan orang-orang terdekat.

  • Fokus yang berlebihan pada pekerjaan membuat kita mengabaikan aspek penting lainnya dalam hidup.

Ciri-ciri Orang yang Mengalami Toxic Productivity

  • Mereka seringkali merasa bersalah jika tidak melakukan sesuatu yang "produktif".

  • Tidur, makan, dan bersosialisasi sering kali dikorbankan demi menyelesaikan tugas.

  • Terlalu fokus pada pencapaian orang lain dan merasa tidak cukup baik.

  • Bahkan saat beristirahat, pikiran masih terisi dengan pekerjaan.

  • Terhubung dengan pekerjaan secara konstan, bahkan di luar jam kerja.

Ada beberapa faktor yang dapat mendorong seseorang terjebak dalam toxic productivity, antara lain:

  • Tekanan untuk selalu tampil terbaik dan mencapai target yang tidak realistis.

  • Melihat postingan orang lain yang sukses dapat memicu rasa iri dan keinginan untuk terus berprestasi.

  • Keinginan untuk selalu melakukan segala sesuatu dengan sempurna.

  • Merasa perlu membuktikan diri kepada orang lain.

Cara Mengatasi Toxic Productivity

  • Langkah pertama adalah mengakui bahwa kamu sedang mengalami toxic productivity.

  • Berikan waktu yang cukup untuk tidur, makan, dan berolahraga.

  • Tetapkan batas waktu kerja yang jelas dan patuhi itu.

  • Cobalah meditasi, yoga, atau hobi yang menyenangkan untuk mengurangi stres.

  • Bicara dengan teman, keluarga, atau terapis tentang apa yang kamu rasakan.

Toxic productivity mengajarkan kita bahwa kesuksesan tidak hanya diukur dari seberapa banyak yang kita lakukan, tetapi juga dari seberapa baik kita menjalani hidup. Dengan menyeimbangkan kehidupan pribadi dan profesional, kita dapat mencapai kebahagiaan dan kepuasan yang lebih besar.

Tips untuk Membangun Keseimbangan Hidup:

  • Jangan terlalu banyak menumpuk tugas dalam sehari.

  • Tidak perlu selalu menerima semua permintaan.

  • Apresiasi setiap kemajuan yang kamu buat.

  • Bergabung dengan kelompok yang memiliki minat yang sama.

  • Berada di alam dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan mood.

Toxic productivity adalah masalah yang serius, tetapi bisa diatasi. Dengan kesadaran diri, dukungan dari orang-orang terdekat, dan perubahan gaya hidup, kita dapat keluar dari lingkaran setan ini dan membangun kehidupan yang lebih sehat dan bahagia. Ingatlah, kesuksesan sejati bukanlah tentang jumlah tugas yang selesai, tetapi tentang kualitas hidup yang kita nikmati.


Author: Maya Zahwa Aulia


Komentar

Rubik Puan Popular

Kenyataan Work-Life Balance yang Sering Disalahpahami

Puan nggak sih Puan ngerasa kayak semua hal minta waktu di saat yang sama kuliah, kerja, organisasi, bahkan diri Puan sendiri? Semua bilang “harus seimbang,” tapi nggak ada yang ngajarin gimana caranya. Akhirnya, kita terus coba jadi semuanya: anak yang berbakti, teman yang ada, mahasiswa yang aktif, pekerja yang nggak pernah telat, padahal diam-diam… kita cuma pengen napas sebentar. Mitos 50:50 dan kenapa ia berbahaya Work-life balance sering disalahpahami kayak rumus matematika 50% kerja, 50% istirahat. Padahal hidup nggak sesederhana itu. Keseimbangan bukan angka tetap, tapi kemampuan untuk menyesuaikan fokus sesuai fase hidup. Ada masa di mana Puan lagi all-out di karier atau kampus, dan itu nggak salah. Ada masa juga di mana Puan lagi perlu berhenti, pulih, dan mengembalikan energi dan itu juga bagian dari seimbang. American Psychological Association (2021), mencatat bahwa ketika keseimbangan kerja dan hidup terganggu, stres kronis dan burnout mudah muncul. Jadi, “seimbang” buk...

Magang atau Kuliah Dulu? Ini Panduan Biar Kamu Tetap On Track di Dunia Kampus & Karier

Image by: hotcourses.co.id Puan, pernah nggak sih, ngerasa kayak lagi di persimpangan hidup? Di satu sisi, Puan ingin fokus kuliah, ngerjain tugas, dan jaga IP biar tetap aman, tapi di sisi lain, teman-teman Puan udah banyak yang sibuk update LinkedIn atau magang di perusahaan keren? Sementara kita baru ngerjain makalah tiga bab aja udah ngos-ngosan. Lalu muncul pertanyaan “Aku harus fokus kuliah dulu, atau mulai magang biar nggak ketinggalan ya?” Tenang, Puanners. Kalau kamu lagi ada di fase itu, kamu nggak sendirian, dan jawabannya adalah nggak harus pilih salah satu. Kuncinya bukan di urutannya, melainkan di bagaimana Puan menemukan keseimbangan dan arah dari keduanya. Kuliah Adalah Fondasi, Magang Adalah Jembatannya Kuliah itu bukan cuma tentang IP dan SKS, melainkan juga waktu untuk membentuk cara berpikir dan mengenali diri. Sementara magang jadi tempat untuk menerapkan semua teori yang udah Puan pelajari di kelas. Keduanya penting, tapi porsinya bisa beda-beda tergantung Puan la...

Growth Mindset vs Fixed Mindset: Pilihan Pola Pikir yang Menentukan Masa Depan

Image by  Source of Insight Manusia pada dasarnya diciptakan berbeda beda ya, Puan, begitu juga dengan mindset yang dibangun oleh diri kita sendiri. Menurut Carol Dweck psikologi dari Stanford University mindset terbagi menjadi dua yaitu fixed mindset dan growth mindset . Apa itu fixed mindset ? Fixed mindset merupakan pola pikir yang percaya bahwa suatu kecerdasan ataupun bakat dalam individu yang sifatnya tidak akan pernah berubah. Orang yang mempunyai fixed mindset cenderung mudah menyerah, tidak mau ambil resiko atas tantangan dalam hidup serta mudah merasa terancam atas keberhasilan orang lain. Lalu, apa itu growth mindset ? Growth mindset merupakan pola pikir yang ingin selalu berkembang dan percaya bahwa sebuah kesuksesan bisa didapatkan dengan kerja keras. Dengan kata lain seorang yang mempunyai growth mindset akan selalu tampil berani serta mencoba hal-hal baru. Perbedaan kedua mindset ini apasih? Fixed mindset Menghindari tantangan karena takut dengan kegagalan te...

Fear of Being Perceived: Alasan Kamu Takut Kena Judge

             Puan, dalam ruang sosial pernah nggak sih merasa bahwa ada banyak pasang mata yang seakan mengikuti setiap gerak-gerik? Seakan tatapan orang lain yang bahkan belum tentu kita kenal aja secara nggak langsung memvalidasikan sesuatu yang kita lakukan. Contohnya saat Puan keluar rumah ada kecenderungan untuk tampil secara baik.  Dalam hal ini, semua yang Puan pakai harus menyesuaikan ekspektasi banyak orang di zaman ini. Apa yang kita unggah ke media sosial adalah sisi yang paling baik, tapi belum tentu sisi yang benar-benar mencerminkan diri sendiri. Apa Itu Fear of Being Perceived? Menurut sumber web Psychology Today, pada dasarnya setiap individu memiliki keinginan untuk divalidasi, dilihat, dan dianggap oleh orang lain sebagaimana versi diri kita yang sebenar-benarnya. Namun, dalam perjalanannya mungkin kita pernah mengalami kritik berlebih atau dianggap aneh ketika mencoba menjadi diri sendiri. Sehingga ketika kita mencoba menja...

Spiral of Silence Theory: Jadi Minoritas Jarang Didengar

source: Kompasiana.com Spiral of Silence Theory   atau yang disebut dengan teori spiral keheningan, mungkin terdengar asing ya, Puan? Tapi apakah kamu pernah merasa ketika ingin menyampaikan pendapat dalam suatu isu, namun ada keraguan dan ketakutan karena nanti menjadi terisolasi sendiri, sehingga pendapat tersebut tak jadi kamu disampaikan? Teori spiral keheningan atau  spiral of silence theory  ini pertama kali dicetuskan oleh  Elisabeth Noelle Neumann  (1973) mengenai kelompok minoritas yang cenderung akan menjadi diam atau tidak berani menyampaikan pendapatnya karena takut akan terisolasi dari lingkungan disekitarnya. Maka sering kali, minoritas mengikuti pendapat kelompok mayoritas. source: kumparan.com Dalam lingkup sosial hal ini sering terjadi, bahkan orang cenderung menghindarinya dan lebih memilih mengikuti pendapat mayoritas dengan anggapan bahwa tidak akan merasa sendiri atau terisolasi di tengah masyarakat. Melihat perilaku masyarakat Indonesia ya...