Langsung ke konten utama

Saat Semua Terlihat Baik-Baik Saja di Media Sosial: Emotional Granularity Membantu Jujur pada Diri Sendiri

Iamge by: IMOM “ Knowing yourself is the beginning of all wisdom” - Aristotle  Puan pernah nggak sih di saat perasaan lagi campur aduk dan lagi ingin sendiri, tapi terpaksa untuk kumpul bersama teman karena kewajiban kuliah/kerja dan susah untuk mencoba menjelaskan ke mereka yang  hasilnya cuma, “Gapapa kok, aku lagi capek aja.” Terkadang di saat kita sedang lelah karena pekerjaan atau tugas kuliah, kita jadi lebih mudah tesinggung akan hal-hal kecil termasuk perkataan orang lain ke diri kita. Dari sini kita bisa membedakan mana emosi, rasa lelah, dan stress . Padahal, kemampuan untuk membedakan perasaan dengan lebih detail adalah salah satu kunci terbesar dalam memahami diri dan inilah yang disebut sebagai emotional granularity. Apa itu Emotional Granularity ?  Emotional granurality adalah kemampuan untuk mengenali dan memberi label emosi dengan lebih spesifik. Bukan hanya “sedih”, namun “kecewa karena ekspektasi nggak terpenuhi”. Bukan sekedar “marah”, namun “kesal k...

Saat Semua Terlihat Baik-Baik Saja di Media Sosial: Emotional Granularity Membantu Jujur pada Diri Sendiri

Iamge by: IMOM

Knowing yourself is the beginning of all wisdom” - Aristotle 

Puan pernah nggak sih di saat perasaan lagi campur aduk dan lagi ingin sendiri, tapi terpaksa untuk kumpul bersama teman karena kewajiban kuliah/kerja dan susah untuk mencoba menjelaskan ke mereka yang  hasilnya cuma, “Gapapa kok, aku lagi capek aja.”

Terkadang di saat kita sedang lelah karena pekerjaan atau tugas kuliah, kita jadi lebih mudah tesinggung akan hal-hal kecil termasuk perkataan orang lain ke diri kita. Dari sini kita bisa membedakan mana emosi, rasa lelah, dan stress. Padahal, kemampuan untuk membedakan perasaan dengan lebih detail adalah salah satu kunci terbesar dalam memahami diri dan inilah yang disebut sebagai emotional granularity.

Apa itu Emotional Granularity

Emotional granurality adalah kemampuan untuk mengenali dan memberi label emosi dengan lebih spesifik. Bukan hanya “sedih”, namun “kecewa karena ekspektasi nggak terpenuhi”. Bukan sekedar “marah”, namun “kesal karena tidak didengarkan”. Semakin Puan bisa memilah & mendeskripsikan emosi, semakin mudah pula untuk menanganinya. 

Seperti yang dijelaskan oleh Lisa Feldman Barrett (2006) dalam Personality and Social Psychology Review, individu dengan emotional granularity tinggi yang mampu membedakan pengalaman emosionalnya dengan istilah yang lebih spesifik, bukan berdasarkan kategori yang luas seperti ‘marah’ atau ‘sedih’. 

Kenapa Emotional Granularity Penting? 

Terkadang kita selalu mengira “masalahnya terlalu besar”, padahal sebenarnya yang bikin kacau adalah kita nggak tahu apa yang sebenarnya kita rasakan. Begitu emosi mulai diberi nama dengan jelas, banyak hal yang tadinya rumit mendadak jadi masuk akal. Hal ini penting kita ketahui bahwa:

  1. Emosi lebih mudah terkelola dengan baik.

Barrett dalam penelitiannya menyatakan bahwa orang yang punya granularitas tinggi cenderung megatur emosinya lebih efektif, karena mereka tahu apa yang sebenarnya mereka rasakan sehingga
responnya lebih tepat sasaran. 
  1. Mengurangi konflik & salah paham 

Individu yang mampu mengurai emosi dengan detail cenderung lebih dalam interaksi sosial karena komunikasinya lebih jelas dan terarah. 

  1. Membuat pengambilan keputusan lebih jernih 

Ketika perasaan bisa diuraikan, keputusan tidak lagi di dorong oleh “bad mood” yang nggak jelas.

  1. Mendukung kesehatan mental 

Menurut Tugade & Fredickson (2004) menunjukkan bahwa orang yang mampu mengenali emosi secara lebih tepat biasanya lebih cepat pulih dari pengalaman negatif. 

Cara Membedakan Emosi (Praktis dan Langsung) 

  1. Kenali sinyal tubuh 

Emosi selalu singgah di tubuh, sehingga cemas biasanya yang ada di dada

  1. Perkaya kosakata emosi

Biar nggak semua rasa menumpuk menjadi “stress”, cobalah eksplor kata yang mendeskripsikan emosi Puan seperti “kecewa” “malu” “iri” “khawatir” dan sebagainya. 

  1. Analisis pemicunya

Mulailah dengan meditasi diri dengan menanyakan kepada diri sendiri seperti “Sebenernya aku ini lagi marah, kecewa, sedih, atau galau?” Konteks ini membuka detail yang sebelumnya samar. 

  1. Tuliskan atau ucapkan 

Labeling membantu otak menata ulang pengalaman emosional dan menurunkan intensitasnya.

Cara Merawat Emosi Setelah Mengenalinya

  1. Pilih respon berdasarkan label emosi 

Jika inti masalahnya adalah kecemasan, fokusnya adalah untuk menenagkan diri.

  1. Rawat tubuh 

Percaya atau tidak, tubuh yang segar membuat emosi lebih mudah diurai.

  1. MelakukanJournalingAmbil waktu libur atau disaat sedang emosi, Puan bisa menuliskan/menceritakan apa yang Puan rasakan di diary pribadi.

Pada akhirnya, emotional granularity membantu Puan mengenali apa yang sebenarnya terjadi dalam diri. Dengan menamai emosi secara lebih spesifik, Puan bisa memahami kebutuhan hati dengan lebih akurat, mengambil keputusan dengan lebih akurat, mengambil keputusan dengan kepala yang lebih jernih, dan merawat diri tanpa tersesat oleh perasaan yang tumpang tindih. Ketika Puan bisa membaca perasaan sendiri dengan lebih jelas, hidup terasa lebih terarah dan hubungan dengan orang lain pun ikut membaik. 


Referensi:

Barrett, L. F., & Gross, J. J. (2001). Emotion representation and the structure of emotional experience. Cognition & Emotion, 15(3), 333–363.

Feldman Barrett, L. (2017). How emotions are made: The secret life of the brain. Houghton Mifflin Harcourt.

Kashdan, T. B., Barrett, L. F., & McKnight, P. E. (2015). Unpacking emotion differentiation: Transforming unpleasant experience by perceiving distinctions in negativity. Current Directions in Psychological Science, 24(1), 10–16.

Tugade, M. M., & Fredrickson, B. L. (2004). Resilient individuals use positive emotions to bounce back from negative emotional experiences. Journal of Personality and Social Psychology, 86(2), 320–333.

Nook, E. C., Flournoy, J. C., Rodman, A. M., Mair, P., & McLaughlin, K. A. (2021). Emotion differentiation and mental health: A systematic review and meta-analysis. Journal of Affective Disorders, 295, 1200–1216.




Komentar

Rubik Puan Popular

Berani Bilang "Tidak": Panduan Menetapkan Batasan Sehat untuk Puan

Image by:  Total Wellness Health Apakah Puan pernah merasa tidak enak hati saat menolak permintaan orang lain, sampai akhirnya mengorbankan waktu, tenaga, bahkan perasaan sendiri? Rasanya capek, tapi tetap dijalani karena takut mengecewakan orang lain. Padahal, berani bilang "tidak" bukan berarti egois, lho! Justru menolak permintaan orang lain adalah bentuk menghargai diri sendiri. Mengenal Personal Boundaries Personal boundaries adalah batasan yang Puan tetapkan untuk menjaga kenyamanan diri, baik secara fisik, emosional, maupun mental. Dengan boundaries yang jelas, Puan bisa lebih menghargai diri sendiri dan membangun hubungan dengan sesama yang lebih sehat dan saling menghargai. Menurut Very well health , boundaries membantu individu membedakan diri mereka dari orang lain dan menjaga keseimbangan dalam hubungan sosial. Mengapa Sulit Mengatakan "Tidak"? Banyak dari kita, terutama perempuan, sering diajarkan untuk selalu menyenangkan orang lain. Akibatnya, Puan...

Lagi Lelah Sama Hiruk Pikuk Dunia? Ini Dia 7 Aktivitas Simpel Biar Puan Tetap Waras di Tengah Kesibukan

Image by: dinkes.acehprov.go.id Pernahkah Puan merasa lelah bahkan sebelum hari benar-benar dimulai? Bangun pagi dengan niat ingin produktif, membuka laptop, lalu tanpa sadar berakhir pada scrolling Medsos. Waktu berjalan cepat, tugas belum tersentuh, dan rasa bersalah mulai datang perlahan. Tidak apa-apa, Puan, rasa lelah itu wajar. Hidup tidak selalu harus penuh semangat dan target. Ada masa ketika Puan hanya ingin berhenti sejenak, menarik napas, dan membiarkan diri tenang. November memang bulan transisi yang seringkali bikin burn out. Target belum kelar, tugas numpuk, tapi energi udah menipis duluan. Sebagai seseorang yang juga pernah berada di titik itu, Priska ingin berbagi beberapa cara sederhana agar Puan tetap waras di tengah padatnya dunia. Yuk, baca artikel ini sampai akhir! Jalan kaki dan dengarkan lagu yang menenangkan Cobalah berjalan santai di sekitar lingkungan tempat tinggal Puan. Tidak perlu lama, cukup lima belas atau dua puluh menit sambil mendengarkan lagu yang dis...

Mengatasi Perbandingan Sosial: Menggenggam Self-Acceptance di Era Media Sosial

Pernahkah Puan merasa terjebak dalam erangkap perbandingan tak berujung di era media sosial? Melihat orang lain yang tampak lebih sukses, lebih berprestasi, atau lebih cantik dari Puan dapat membuat Puan merasa minder. Pertanyaan-pertanyaan seperti "Mengapa aku tidak sebaik dia?" atau "Mengapa hidupnya tampak lebih sempurna daripada milikku?" mungkin telah menghantui pikiran Puan. Jangan khawatir, Puan tidak sendirian! Perasaan-perasaan ini adalah hal yang wajar, terutama dalam dunia yang semakin terhubung dan serba kompetitif seperti masa kini. Namun, penting bagi Puan sebagai perempuan masa kini untuk memahami bahwa self-acceptance (penerimaan diri) adalah kunci utama untuk menggenggam kekuatan sejati dan menemukan kedamaian dalam hidup. Self-acceptance bukanlah proses instan, melainkan perjalanan emosional yang membutuhkan waktu dan dedikasi.  Dalam perjalanan ini, penerimaan diri mengajarkan Puan untuk mencintai dan menerima diri sendiri dengan segala kelebiha...

Spiral of Silence Theory: Jadi Minoritas Jarang Didengar

source: Kompasiana.com Spiral of Silence Theory   atau yang disebut dengan teori spiral keheningan, mungkin terdengar asing ya, Puan? Tapi apakah kamu pernah merasa ketika ingin menyampaikan pendapat dalam suatu isu, namun ada keraguan dan ketakutan karena nanti menjadi terisolasi sendiri, sehingga pendapat tersebut tak jadi kamu disampaikan? Teori spiral keheningan atau  spiral of silence theory  ini pertama kali dicetuskan oleh  Elisabeth Noelle Neumann  (1973) mengenai kelompok minoritas yang cenderung akan menjadi diam atau tidak berani menyampaikan pendapatnya karena takut akan terisolasi dari lingkungan disekitarnya. Maka sering kali, minoritas mengikuti pendapat kelompok mayoritas. source: kumparan.com Dalam lingkup sosial hal ini sering terjadi, bahkan orang cenderung menghindarinya dan lebih memilih mengikuti pendapat mayoritas dengan anggapan bahwa tidak akan merasa sendiri atau terisolasi di tengah masyarakat. Melihat perilaku masyarakat Indonesia ya...

Growth Mindset vs Fixed Mindset: Pilihan Pola Pikir yang Menentukan Masa Depan

Image by  Source of Insight Manusia pada dasarnya diciptakan berbeda beda ya, Puan, begitu juga dengan mindset yang dibangun oleh diri kita sendiri. Menurut Carol Dweck psikologi dari Stanford University mindset terbagi menjadi dua yaitu fixed mindset dan growth mindset . Apa itu fixed mindset ? Fixed mindset merupakan pola pikir yang percaya bahwa suatu kecerdasan ataupun bakat dalam individu yang sifatnya tidak akan pernah berubah. Orang yang mempunyai fixed mindset cenderung mudah menyerah, tidak mau ambil resiko atas tantangan dalam hidup serta mudah merasa terancam atas keberhasilan orang lain. Lalu, apa itu growth mindset ? Growth mindset merupakan pola pikir yang ingin selalu berkembang dan percaya bahwa sebuah kesuksesan bisa didapatkan dengan kerja keras. Dengan kata lain seorang yang mempunyai growth mindset akan selalu tampil berani serta mencoba hal-hal baru. Perbedaan kedua mindset ini apasih? Fixed mindset Menghindari tantangan karena takut dengan kegagalan te...