Saat Semua Terlihat Baik-Baik Saja di Media Sosial: Emotional Granularity Membantu Jujur pada Diri Sendiri
“Knowing yourself is the beginning of all wisdom” - Aristotle
Puan pernah nggak sih di saat perasaan lagi campur aduk dan lagi ingin sendiri, tapi terpaksa untuk kumpul bersama teman karena kewajiban kuliah/kerja dan susah untuk mencoba menjelaskan ke mereka yang hasilnya cuma, “Gapapa kok, aku lagi capek aja.”
Terkadang di saat kita sedang lelah karena pekerjaan atau tugas kuliah, kita jadi lebih mudah tesinggung akan hal-hal kecil termasuk perkataan orang lain ke diri kita. Dari sini kita bisa membedakan mana emosi, rasa lelah, dan stress. Padahal, kemampuan untuk membedakan perasaan dengan lebih detail adalah salah satu kunci terbesar dalam memahami diri dan inilah yang disebut sebagai emotional granularity.
Apa itu Emotional Granularity?
Emotional granurality adalah kemampuan untuk mengenali dan memberi label emosi dengan lebih spesifik. Bukan hanya “sedih”, namun “kecewa karena ekspektasi nggak terpenuhi”. Bukan sekedar “marah”, namun “kesal karena tidak didengarkan”. Semakin Puan bisa memilah & mendeskripsikan emosi, semakin mudah pula untuk menanganinya.
Seperti yang dijelaskan oleh Lisa Feldman Barrett (2006) dalam Personality and Social Psychology Review, individu dengan emotional granularity tinggi yang mampu membedakan pengalaman emosionalnya dengan istilah yang lebih spesifik, bukan berdasarkan kategori yang luas seperti ‘marah’ atau ‘sedih’.
Kenapa Emotional Granularity Penting?
Terkadang kita selalu mengira “masalahnya terlalu besar”, padahal sebenarnya yang bikin kacau adalah kita nggak tahu apa yang sebenarnya kita rasakan. Begitu emosi mulai diberi nama dengan jelas, banyak hal yang tadinya rumit mendadak jadi masuk akal. Hal ini penting kita ketahui bahwa:
Emosi lebih mudah terkelola dengan baik.
Mengurangi konflik & salah paham
Individu yang mampu mengurai emosi dengan detail cenderung lebih dalam interaksi sosial karena komunikasinya lebih jelas dan terarah.
Membuat pengambilan keputusan lebih jernih
Ketika perasaan bisa diuraikan, keputusan tidak lagi di dorong oleh “bad mood” yang nggak jelas.
Mendukung kesehatan mental
Menurut Tugade & Fredickson (2004) menunjukkan bahwa orang yang mampu mengenali emosi secara lebih tepat biasanya lebih cepat pulih dari pengalaman negatif.
Cara Membedakan Emosi (Praktis dan Langsung)
Kenali sinyal tubuh
Emosi selalu singgah di tubuh, sehingga cemas biasanya yang ada di dada
Perkaya kosakata emosi
Biar nggak semua rasa menumpuk menjadi “stress”, cobalah eksplor kata yang mendeskripsikan emosi Puan seperti “kecewa” “malu” “iri” “khawatir” dan sebagainya.
Analisis pemicunya
Mulailah dengan meditasi diri dengan menanyakan kepada diri sendiri seperti “Sebenernya aku ini lagi marah, kecewa, sedih, atau galau?” Konteks ini membuka detail yang sebelumnya samar.
Tuliskan atau ucapkan
Labeling membantu otak menata ulang pengalaman emosional dan menurunkan intensitasnya.
Cara Merawat Emosi Setelah Mengenalinya
Pilih respon berdasarkan label emosi
Jika inti masalahnya adalah kecemasan, fokusnya adalah untuk menenagkan diri.
Rawat tubuh
Percaya atau tidak, tubuh yang segar membuat emosi lebih mudah diurai.
MelakukanJournalingAmbil waktu libur atau disaat sedang emosi, Puan bisa menuliskan/menceritakan apa yang Puan rasakan di diary pribadi.
Pada akhirnya, emotional granularity membantu Puan mengenali apa yang sebenarnya terjadi dalam diri. Dengan menamai emosi secara lebih spesifik, Puan bisa memahami kebutuhan hati dengan lebih akurat, mengambil keputusan dengan lebih akurat, mengambil keputusan dengan kepala yang lebih jernih, dan merawat diri tanpa tersesat oleh perasaan yang tumpang tindih. Ketika Puan bisa membaca perasaan sendiri dengan lebih jelas, hidup terasa lebih terarah dan hubungan dengan orang lain pun ikut membaik.
Referensi:
Barrett, L. F., & Gross, J. J. (2001). Emotion representation and the structure of emotional experience. Cognition & Emotion, 15(3), 333–363.
Feldman Barrett, L. (2017). How emotions are made: The secret life of the brain. Houghton Mifflin Harcourt.
Kashdan, T. B., Barrett, L. F., & McKnight, P. E. (2015). Unpacking emotion differentiation: Transforming unpleasant experience by perceiving distinctions in negativity. Current Directions in Psychological Science, 24(1), 10–16.
Tugade, M. M., & Fredrickson, B. L. (2004). Resilient individuals use positive emotions to bounce back from negative emotional experiences. Journal of Personality and Social Psychology, 86(2), 320–333.
Nook, E. C., Flournoy, J. C., Rodman, A. M., Mair, P., & McLaughlin, K. A. (2021). Emotion differentiation and mental health: A systematic review and meta-analysis. Journal of Affective Disorders, 295, 1200–1216.
Komentar
Posting Komentar