Langsung ke konten utama

Magang atau Kuliah Dulu? Ini Panduan Biar Kamu Tetap On Track di Dunia Kampus & Karier

Image by: hotcourses.co.id Puan, pernah nggak sih, ngerasa kayak lagi di persimpangan hidup? Di satu sisi, Puan ingin fokus kuliah, ngerjain tugas, dan jaga IP biar tetap aman, tapi di sisi lain, teman-teman Puan udah banyak yang sibuk update LinkedIn atau magang di perusahaan keren? Sementara kita baru ngerjain makalah tiga bab aja udah ngos-ngosan. Lalu muncul pertanyaan “Aku harus fokus kuliah dulu, atau mulai magang biar nggak ketinggalan ya?” Tenang, Puanners. Kalau kamu lagi ada di fase itu, kamu nggak sendirian, dan jawabannya adalah nggak harus pilih salah satu. Kuncinya bukan di urutannya, melainkan di bagaimana Puan menemukan keseimbangan dan arah dari keduanya. Kuliah Adalah Fondasi, Magang Adalah Jembatannya Kuliah itu bukan cuma tentang IP dan SKS, melainkan juga waktu untuk membentuk cara berpikir dan mengenali diri. Sementara magang jadi tempat untuk menerapkan semua teori yang udah Puan pelajari di kelas. Keduanya penting, tapi porsinya bisa beda-beda tergantung Puan la...

Logika Waktu Pendek: Terlalu Cepat Menelan, Terlalu Malas Mencerna



Image by: pixabay/koranrb.id


Puan, kapan terakhir kali kamu menyelesaikan satu buku sampai tuntas? 

Atau duduk tenang tanpa mengecek HP tiap saat?

Di tengah dunia yang serba cepat ini, kita hidup dalam arus informasi yang nyaris tak pernah berhenti. Segala sesuatu dituntut instan, seperti makanan, layanan, bahkan pengetahuan. Hal ini turut memengaruhi cara kita mengonsumsi informasi. Masyarakat kini cenderung lebih menyukai konten yang singkat, cepat, dan mudah diakses. Dalam budaya digital semacam ini, muncul sebuah pola pikir yang dikenal sebagai logika waktu pendek, yakni kecenderungan untuk menghindari bacaan panjang dan mendalam karena otak telah terbiasa menerima informasi dalam potongan kecil yang cepat selesai.


Utas Twitter, fiksimini, Reels, TikTok, hingga YouTube Shorts, semua jadi cara baru kita mengonsumsi cerita dan informasi secara cepat. Di satu sisi, bentuk ini menyenangkan karena praktis dan mudah dikonsumsi. Namun di sisi lain, kebiasaan ini bisa membuat kita terbiasa bergerak cepat tanpa benar-benar memahami atau meresapi isi yang kita konsumsi, seperti berlari tanpa tahu ke mana arah tujuan.



Apa sih logika waktu pendek itu, Puan?

Logika waktu pendek adalah kebiasaan atau pola pikir manusia modern yang makin sulit bertahan dalam proses membaca panjang, berpikir dalam, atau menikmati sesuatu dengan perlahan.


Dosen media dan budaya digital, Siva Vaidhyanathan, menyebut bahwa media sosial telah membuat kita terus-menerus "siaga" dan jarang benar-benar hadir. Kita terbiasa melompat dari satu topik ke topik lain, dari satu cerita ke video berikutnya, semuanya dalam hitungan detik.



Dampaknya ke hidup kita apa aja, sih?


  1. Susah fokus, apalagi mikir panjang

Penelitian dari University of California menunjukkan bahwa konsumsi konten singkat secara terus-menerus bisa menurunkan kemampuan membaca yang mendalam. Kita jadi mudah teralihkan dan makin sulit fokus saat menghadapi tugas panjang atau materi yang butuh konsentrasi tinggi.


  1. Kelelahan mental dan FOMO

Kalau merasa gampang capek walau seharian “cuma scroll medsos”, itu bisa jadi tanda kalau otak Puan lagi kelelahan karena menyerap informasi. Belum lagi perasaan takut ketinggalan tren atau berita yang terus berubah tiap jam.


  1. Diskusi jadi dangkal

Karena terbiasa membaca singkat dan cepat, kita cenderung bereaksi spontan tanpa mencerna. Ini bisa berdampak ke cara kita berdiskusi di media sosial, seringnya jadi debat kusir atau salah paham.


  1. Proses kreatif jadi terburu-buru

Banyak kreator yang merasa tertekan untuk membuat karya yang langsung viral. Padahal, proses kreatif sejatinya butuh waktu, riset, dan ruang untuk berkembang.




Terus, harus gimana dong biar nggak terjebak, Priska?


Tenang, Puan. Kita bisa kok tetap hidup di dunia digital tanpa kehilangan kedalaman berpikir. Berikut beberapa tips sederhana yang bisa Puan coba:


  1. Latih fokus secara perlahan. Coba baca artikel panjang atau buku fisik 10 menit sehari. Lama-lama otak Puan akan terbiasa kembali.

  2. Tentukan batas waktu online. Misalnya, jangan buka medsos satu jam sebelum tidur atau pas bangun pagi.

  3. Pilih konsumsi yang berkualitas. Ikuti akun yang edukatif, inspiratif, dan memberi ruang refleksi, bukan sekadar hiburan cepat.

  4. Nikmati proses yang lambat. Menulis jurnal, melukis, atau sekadar duduk minum teh bisa jadi bentuk perlawanan kecil terhadap dunia yang serba cepat.

  5. Selalu ingat: nggak semua harus direspons sekarang. Puan berhak istirahat. Dunia nggak akan runtuh cuma karena Puan istirahat sebentar.


Di dunia yang terbiasa buru-buru, melambat itu bisa jadi bentuk keberanian.

Logika waktu pendek memang susah dihindari di zaman yang serba cepat ini. Tapi kita bisa kok memilih: terus ikut terbawa arus, atau sesekali berhenti sejenak. Karena justru di saat berhenti itulah kita benar-benar bisa mendengar, bukan cuma suara di luar, tapi juga suara dari dalam diri sendiri.




Referensi:

Haryatmoko. (2005, 13 Juli). Logika waktu pendek media. Kompas, hlm. 6, kol. 3–6.

Author & Editor:

Sarah Ardelia 


Komentar

Rubik Puan Popular

Kenyataan Work-Life Balance yang Sering Disalahpahami

Puan nggak sih Puan ngerasa kayak semua hal minta waktu di saat yang sama kuliah, kerja, organisasi, bahkan diri Puan sendiri? Semua bilang “harus seimbang,” tapi nggak ada yang ngajarin gimana caranya. Akhirnya, kita terus coba jadi semuanya: anak yang berbakti, teman yang ada, mahasiswa yang aktif, pekerja yang nggak pernah telat, padahal diam-diam… kita cuma pengen napas sebentar. Mitos 50:50 dan kenapa ia berbahaya Work-life balance sering disalahpahami kayak rumus matematika 50% kerja, 50% istirahat. Padahal hidup nggak sesederhana itu. Keseimbangan bukan angka tetap, tapi kemampuan untuk menyesuaikan fokus sesuai fase hidup. Ada masa di mana Puan lagi all-out di karier atau kampus, dan itu nggak salah. Ada masa juga di mana Puan lagi perlu berhenti, pulih, dan mengembalikan energi dan itu juga bagian dari seimbang. American Psychological Association (2021), mencatat bahwa ketika keseimbangan kerja dan hidup terganggu, stres kronis dan burnout mudah muncul. Jadi, “seimbang” buk...

Magang atau Kuliah Dulu? Ini Panduan Biar Kamu Tetap On Track di Dunia Kampus & Karier

Image by: hotcourses.co.id Puan, pernah nggak sih, ngerasa kayak lagi di persimpangan hidup? Di satu sisi, Puan ingin fokus kuliah, ngerjain tugas, dan jaga IP biar tetap aman, tapi di sisi lain, teman-teman Puan udah banyak yang sibuk update LinkedIn atau magang di perusahaan keren? Sementara kita baru ngerjain makalah tiga bab aja udah ngos-ngosan. Lalu muncul pertanyaan “Aku harus fokus kuliah dulu, atau mulai magang biar nggak ketinggalan ya?” Tenang, Puanners. Kalau kamu lagi ada di fase itu, kamu nggak sendirian, dan jawabannya adalah nggak harus pilih salah satu. Kuncinya bukan di urutannya, melainkan di bagaimana Puan menemukan keseimbangan dan arah dari keduanya. Kuliah Adalah Fondasi, Magang Adalah Jembatannya Kuliah itu bukan cuma tentang IP dan SKS, melainkan juga waktu untuk membentuk cara berpikir dan mengenali diri. Sementara magang jadi tempat untuk menerapkan semua teori yang udah Puan pelajari di kelas. Keduanya penting, tapi porsinya bisa beda-beda tergantung Puan la...

Growth Mindset vs Fixed Mindset: Pilihan Pola Pikir yang Menentukan Masa Depan

Image by  Source of Insight Manusia pada dasarnya diciptakan berbeda beda ya, Puan, begitu juga dengan mindset yang dibangun oleh diri kita sendiri. Menurut Carol Dweck psikologi dari Stanford University mindset terbagi menjadi dua yaitu fixed mindset dan growth mindset . Apa itu fixed mindset ? Fixed mindset merupakan pola pikir yang percaya bahwa suatu kecerdasan ataupun bakat dalam individu yang sifatnya tidak akan pernah berubah. Orang yang mempunyai fixed mindset cenderung mudah menyerah, tidak mau ambil resiko atas tantangan dalam hidup serta mudah merasa terancam atas keberhasilan orang lain. Lalu, apa itu growth mindset ? Growth mindset merupakan pola pikir yang ingin selalu berkembang dan percaya bahwa sebuah kesuksesan bisa didapatkan dengan kerja keras. Dengan kata lain seorang yang mempunyai growth mindset akan selalu tampil berani serta mencoba hal-hal baru. Perbedaan kedua mindset ini apasih? Fixed mindset Menghindari tantangan karena takut dengan kegagalan te...

Fear of Being Perceived: Alasan Kamu Takut Kena Judge

             Puan, dalam ruang sosial pernah nggak sih merasa bahwa ada banyak pasang mata yang seakan mengikuti setiap gerak-gerik? Seakan tatapan orang lain yang bahkan belum tentu kita kenal aja secara nggak langsung memvalidasikan sesuatu yang kita lakukan. Contohnya saat Puan keluar rumah ada kecenderungan untuk tampil secara baik.  Dalam hal ini, semua yang Puan pakai harus menyesuaikan ekspektasi banyak orang di zaman ini. Apa yang kita unggah ke media sosial adalah sisi yang paling baik, tapi belum tentu sisi yang benar-benar mencerminkan diri sendiri. Apa Itu Fear of Being Perceived? Menurut sumber web Psychology Today, pada dasarnya setiap individu memiliki keinginan untuk divalidasi, dilihat, dan dianggap oleh orang lain sebagaimana versi diri kita yang sebenar-benarnya. Namun, dalam perjalanannya mungkin kita pernah mengalami kritik berlebih atau dianggap aneh ketika mencoba menjadi diri sendiri. Sehingga ketika kita mencoba menja...

Spiral of Silence Theory: Jadi Minoritas Jarang Didengar

source: Kompasiana.com Spiral of Silence Theory   atau yang disebut dengan teori spiral keheningan, mungkin terdengar asing ya, Puan? Tapi apakah kamu pernah merasa ketika ingin menyampaikan pendapat dalam suatu isu, namun ada keraguan dan ketakutan karena nanti menjadi terisolasi sendiri, sehingga pendapat tersebut tak jadi kamu disampaikan? Teori spiral keheningan atau  spiral of silence theory  ini pertama kali dicetuskan oleh  Elisabeth Noelle Neumann  (1973) mengenai kelompok minoritas yang cenderung akan menjadi diam atau tidak berani menyampaikan pendapatnya karena takut akan terisolasi dari lingkungan disekitarnya. Maka sering kali, minoritas mengikuti pendapat kelompok mayoritas. source: kumparan.com Dalam lingkup sosial hal ini sering terjadi, bahkan orang cenderung menghindarinya dan lebih memilih mengikuti pendapat mayoritas dengan anggapan bahwa tidak akan merasa sendiri atau terisolasi di tengah masyarakat. Melihat perilaku masyarakat Indonesia ya...